Menjawab Tantangan Era Industri 4.0 Berdasar Filosofi Tri-Kon Ki Hajar Dewantara

Untuk menjawab tantangan era industri 4.0 dan masyarakat 5.0 maka pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayan meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar. Merdeka Belajar adalah program belajar dengan menciptakan suasana belajar yang bahagia, baik bagi murid maupun para guru. Merdeka Belajar ini konon dilahirkan dari banyaknya keluhan orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok nilai-nilai tertentu. Esensi Merdeka Belajar adalah kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim,  menyebut bahwa dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi.

Dalam kebijakan Merdeka Belajar, guru di Indonesia diharapkan memiliki  lima karakter yaitu berjiwa nasionalisme Indonesia, bernalar, pembelajar, profesional, dan berorientasi pada peserta didik. Untuk mewujudkan karakter tersebut maka Merdeka Belajar menuntut adanya landasan filosofi untuk mendasari gerak dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Salah satu filosofi yang digunakan adalah asas Tri-Kon yang digagaas oleh tokoh Pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Asas Tri-Kon adalah suatu asas dalam Pendidikan yang menekankan pada tiga hal, yaitu Kontinyu, Konvergen, dan Konsentris.

Berdasarkan laporan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bahwa era industri 4.0  memiliki karakteristik, diantaranya: (1) Dunia kehidupan akan semakin dihubungkan oleh teknologi informasi, berikut implikasinya, terutama terhadap: ketahanan dan sistem pertahanan, pendidikan, industri, dan komunikasi. (2) Ilmu pengetahuan akan semakin converging, berikut implikasinya, terutama terhadap: penelitian, filsafat ilmu, paradigma pendidikan, dan kurikulum. (3) Budaya akan saling imbas mengimbas dengan teknosains berikut implikasinya, terutama terhadap: karakter, kepribadian, etiket, etika, hukum, kriminologi, dan media (BNSP, 2010).Berdasarkan karaktersitik tantangan tersebut filosofi Tri-Kon diharapkan dapat menjawab tantangan era Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0.

Asas Tri-Kon KHD yang pertama adalah Asas Kontinyu. Asas Kontinyu memiliki arti bahwa pengembangan pendidikan yang dilakukan harus berkesinambungan, dilakukan secara terus-menerus dengan perencanaan yang baik. Suatu kondisi yang baik tidak mungkin dapat dicapai dalam sekali waktu seperti sebuah sulap. Tahap demi tahap pengembangan dilakukan dengan rencana yang matang. Dengan perencanaan tersebut maka suatu tahap dilanjutkan oleh tahap berikutnya dengan melalui evaluasi dan perbaikan yang tepat. Pengembangan yang sifatnya tiba-tiba untuk kemudian hilang semangat di waktu-waktu setelahnya tidak akan menghasilkan perubahan berarti di jangka panjang.

Kebijakan Merdeka Belajar yang akan dan sedang dilaksanakan harusnya menghubungkan dua hal, yaitu kebijakan Pendidikan yang lalu dan kebijakan Pendidikan masa akan datang. Hal ini agar terjadi kekontinyuan kebijakan. Kebijakan sebelumnya dianalisis kelebihan dan kekurangannya. Hal-hal positip yang menjadi kelebihan digunakan untuk disempurnakan pada kebijakan yang sekarang. Sedangkan hal-hal yang kurang dijadikan sebagai catatan. Hal kedua adalah perumusan kebijakan Pendidikan masa dating. Kebijakan masa dating disusun untuk memberikan arah kebijakan agar Pendidikan dapat memberikan bekal kepada siswa agar dapat berkembang dan beradaptasi dengan masanya.

Asas Kedua adalah Konvergen. Konvergen berarti pengembangan yang dilakukan dapat mengambil dari berbagai sumber di luar, bahkan dari praktik pendidikan di luar negeri. Seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar ketika mempelajari berbagai praktik pendidikan dunia misalnya Maria Montessori, Froebel dan Rabindranath Tagore. Praktik-praktik tesebut dapat kita pelajari untuk nantinya disesuaikan dengan kebutuhan yang kita miliki sendiri. Saat ini teknologi informasi telah sedemikian canggih sehingga guru atau kepala sekolah dapat mempelajari berbagai kemajuan pendidikan dari mana saja dan kapan saja. Hal ini sangat relevan dengan kompetensi yang dituntut oleh era industry 4.0. siswa harus memiliki kompetensi untuk menyelaraskan budaya local dengan budaya global. Budaya akan saling imbas mengimbas dengan teknosains berikut implikasinya, terutama terhadap: karakter, kepribadian, etiket, etika, hukum, kriminologi, dan media.

Kompetensi ini semakin menemukan signifikannya yang tinggi, terutama jika dikerangkakan dalam konteks dinamika perubahan dan perkembangan zaman kekinian, yang dikenal dengan globalisasi. Ketika globalisasi yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, betapa telah menempatkan kesemestaan dunia dengan segala diversitas kompleksitasnya seolah menjadi tak lebih sebagai kampung global (McLuhan, 2006) yang memungkinkan berhubungan dan terjadinya konvergensi antar kebudayaan semakin terbuka.

Asas Ketiga adalah Konsentris. Asas Konsentris memiliki arti bahwa pengembangan pendidikan yang dilakukan harus tetap berdasarkan kepribadian kita sendiri. Tujuan utama pendidikan adalah menuntun tumbuh kembang anak secara maksimal sesuai dengan karakter kebudayaannya sendiri. Oleh karena itu meskipun Ki Hadjar menganjurkan kita untuk mempelajari kemajuan bangsa lain, namun tetap semua itu ditempatkan secara konsentris dengan karakter budaya kita sebagai pusatnya. Pendidikan yang menggunakan teori dan dasar kebudayaan bangsa lain (walaupun bangsa yang maju) secara langsung tanpa mengkaji ulang, menyesuaikan dan mengevaluasinya tidak akan menghasilkan kemajuan.

Budaya lokal kita di pelbagai khazanah memiliki signifiknasi ketika dikontekstualkan dalam tata pergaulan dan tegur sapa global. Budaya lokal menjadi strategis karena dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai kunci utama dalam mengkonstruksi identitas kebudayaan diri kita. Menjadi modal karena dengan dan melaluinya kebudayan kita dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada dunia. Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan budaya lain. Proses berelasi dan berinteraksi dengan budaya lain juga meniscayakan masuknya beragam nilai secara tak terhindarkan. Dalam kaitan ini, nilai-nilai lokalitas kemudian berfungsi sebagai benteng yang menjanjikan untuk mengimbangi sekaligus menjadi daya tawar. Gejala budaya lokal dapat menjadi daya tawar untuk masuk menjadi budaya dunia sudah dapat kita lihat dari semakin  banyaknya orang luar negeri yang mempelajari budaya kita. Salah satu contoh dalam hal ini adalah sinden Megan dari Amerika.

Dalam kaitan dengan hal itu, karenanya Ki Hadjar Dewantara menyampaikan perihal gagasan ideal sistem pendidikan nasional, dalam rumusan yakni: “Pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan garis-garis hidup bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia”.

Dengan melihat asas Tri-Kon KHD yang dipaparkan di atas maka Pendidikan dengan berlandaskan asas ini memiliki potensi untuk diterapkan agar siswa berkompeten untuk bersaing di era industry 4.0 dan masyarakat 5.0. Dengan asas ini maka Pendidikan di Indonesia harus berkesinambungan (kontinyu), divergen, dan konsntris.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *